Entri Populer

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 21 Agustus 2016

Kemandirian KPU Penyelenggara Pemilu


Tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2017 sudah mulai berjalan yang ditandai dengan proses pemutakhiran daftar pemilih. Bahkan dari 3 Agustus 2016 proses pendaftaran dukungan calon perseorangan juga sudah dimulai.


Mengingat hal ini KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu tentu mempersiapkan beberapa Peraturan untuk disetiap tahapan Pilkada 2017, namun penyelenggara merasa kesulitan dalam menyusun Peraturan tersebut dengan adanya pasal 9 huruf a dan pasal 22  huru b dalam UU No. 10 Tahun 2016, pasal-pasal itu berbunyi menyusun dan menetapakan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat


Dengan adanya pasal tersebut dalam pengesahan UU Pilkada, maka penyelenggara pemilu KPU merasa bunyi dalam pasal itu mengurangi kemandirian bagi KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Sebagai lembaga yang mandiri seharusnya KPU mempunyai kebebasan dalam pengambilan keputusan sesuai dengan keyakinan KPU yang berpedoman pada UU.

Sama - sama kita ketahui jika adanya pasal itu bisa menghambat pembentukan PKPU jika masukan DPR tidak sesuai dengan perintah UU. Pasalnya, DPR sebagai lembaga politik bisa memberikan rekomendasi yang sesuai dengan kelompok politik tertentu, sedangkan KPU dalam membuat pelaksanaan teknis tidak boleh mencerminkan kekuatan politik tertentu.

Adanya pasal tersebut, juga tidak sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 22E ayat 5 yang menyatakan KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Namun nyatanya dalam UU Pilkada KPU tidak boleh mengambil Keputusan sendiri seperti yang dibunyikan dalam  pasal 9 hurub a dan pasal 22 hurub dalam UU pilkada berarti pasal tersebut bertentangan dengan amanat konstitusi dalam Pasal 22E ayat 5.


Kemudian dala UU Pilkada yang telah disahkan Bawaslu diberikan kewenangan yang kuat dalam menindak politik uang tanpa melalui jalur pidana seperti yang dibunyikan dalam pasal 73, namun pasal pembentukan aturan yang harus mengikat disebutnya sebagai kemunduran revisi UU Pilkada. Seharusnya kita harus memperkuat penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu agar Pilkada kalini jauh lebih baik dan untuk seterusnya. 

Kamis, 04 Agustus 2016

SANKSI POLITIK UANG HARUS MEMENUHI SYARAT TERSTRUKTUR, SISTEMATIS DAN MASIF (TSM)


Berbicara Pilkada tahun 2017 mendatang dengan adanya UU No.10/2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Regulasi ini punya sejumlah pasal yang memperkuat penegakan hukum terhadap politik uang. Seperti yang kita ketahui selama ini politik uang adalah Virus pemilu dan pemilukada yang sulit dibendung, dengan adanya UU No.10/2016 membunyikan sanksi bagi melakukan politik uang namun di sisi lain, regulasi untuk Pilkada 2017 ini masih ada pasal yang juga melemahkan penegakan hukum saat politik uang terjadi. Regulasi ini bergantung komitmen dan peraturan penyelenggara pemilu untuk menjamin kepastian penegakan hukum pemilu.

Terdapat Sanksi pembatalan calon pada Pasal 73. Ayat (1) berbunyi, calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih. Ayat (2) berbunyi, calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Tapi pada Pasal 135A Ayat (1). Bunyinya, pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) merupakan pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Pada bagian Penjelasan UU No.10/2016 dijelaskan apa yang dimaksud “terstruktur”, “sistematis”, dan “masif” (TSM) itu. Terstruktur adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama. Sistematis adalah pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Sedangkan, masif adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian.
Sama-sama kita ketahui pada Pasal 73 ayat (2) menunjukkan sifat kumulatif. Calon bisa dibatalkan jika melakukan politik uang secara terstruktur, sistematis, masif, sekaligus.
Jika merujuk definisi pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif itu, bisa disimpulkan sepanjang politik uang yang terjadi selama ini tidak dilakukan aparat struktural, tidak direncanakan matang, atau tidak luas pengaruhnya maka calon yang melakukan politik uang tidak bisa dibatalkan kepesertaannya. Alias ada ruang toleransi, bahkan bisa disebut legalisasi politik uang sepanjang tidak terstruktur, sistematis, dan masif.
Selain itu, Pasal 73 juga memisahkan politik uang yang dilakuan calon dan tim sukses melalui perbedaan bentuk sanksi terhadap calon. Pada Ayat (2) berbunyi penegakan hukum karena menekankan sanksi pembatalan calon karena politik uang jika politik uang dilakukan (langsung) oleh calon. Sedangkan pada Ayat (3) berbunyi tim sukses pelaku politik uang dikenakan sanksi pidana yang tak berdampak pada calon, baik secara pidana maupun administrasi pembatalan.
Berdasarkan pengalaman pemantauan belum pernah ditemukan calon yang melakukan politik uang secara langsung kepada pemilih seperti yang dibunyikan pada Ayat (2). Kemudian bunyi pada Pasal 135A Ayat (1) disebutkan pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) merupakan pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Sedangkan pemaknaan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) itu sudah dijelaskan pada bagian Penjelasan UU No.10/2016  tersebut. Sepanjang pilkada belum perna yang namanya politik uang itu dilakukan dengan terstruktur, sistematis, dan masif. Hal ini Sulit menyangkal bahwa tak mudah menjatuhkan sanksi pembatalan calon bagi Bawaslu karena harus memenuhi syarat TSM. Suatu syarat yang sulit dibuktikan dan berpotensi disalahgunakan.
Namun penegakan Hukum terhadap Politik uang seperti yang dibunyikan dalam UU No.10/2016  Pasal 73 Ayat (2) kemudian ditutup dengan Pasal 135A akan diatur lebih lanjut oleh Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu, masih ada sedikit waktu bagi KPU dan Bawaslu menghasilkan Peraturan yang terang untuk menutup gelap penindakan politik uang dalam Pilkada Tahun 2017


Penulis : Agus M

Flag Counter