Entri Populer

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 07 Februari 2018

PRAKTIK POLITIK UANG

Politik uang telah menjadi penyebab membengkaknya biaya kampanye yang harus ditanggung oleh pasangan calon. pembengkakan tersebut kemudian memperbesar risiko penyalagunaan kekuasaan jika calon tersebut terpilih untuk memperoleh kembali biaya kampanye yang telah dikeluarkan, penyalagunaan kekuasaan, ironi dari harapan besar masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, hal ini karena kegagalan dalam mewujudkan harapan tersebut tidak lepas dari sikap pragmatis dan permisif/membolehkan mereka sendiri terhadap praktik politik uang, mereka rela menukar suara dengan sejumlah uang yang tentu nominalnya tidak seberapa.

Praktik politik uang ini harus diberantas karena jika tidak maka pada akhirnya demokrasi kita semakin rusak, menurun kualitasnya, demokrasi tanpa karakter dan bahkan terancam kehilangan arah. kerusakan dan penurunan demokrasi baik ditingkat lokal maupun nasional sudah kian mengurita di kalangan masyarakat kita. perlu langkah serius agar praktik kotor ini bisa diminimalisir.

Selasa, 06 Februari 2018

PKPU 2 2017

ALAT KERJA PPL COKLIT

REVOLUSI MENTAL SERENTAK

Pilkada Serentak dalam Perspektif Hukum Tata Negara ialah Wujud Kedaulatan Rakyat, Sejak Februari 2015 konstelasi politik lokal di Indonesia berubah dengan hiruk pikuk perdebatan panjang tentang langsung-tidaknya penyelenggaraan Pilkada akhirnya terjawab dengan Undand-Undang N0. 8 Tahun 2018. dalam Undang-Undang ini pada pasal 1 ayat (1) dinyatakan: "Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikotayang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan di wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur dan Waakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Walikota secara langsung dan demokrasi." untuk pertama kalinya, pemilihan kepala daerah secara langsung dan serentak.

Dalam konteks Pilkada, pemilihan kepala Daerah secara langsung oleh masyarakat memiliki derajat legitimasi yang lebih besar dibandingkan pemilihan oleh DPRD. Pilkada langsung dianggap kelanjutan dari cita-cita reformasi yang ingin mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sebab mandat yang diberikan langsung dari rakyat. karenanya, pilkada langsung dianggap sebagai hak warga negarayang dijamin konstitusi.

Pilkada langsung ini telah mengalami penyempurnaan dengan dilaksankan secara langsung dalam tujuh gelombang, gelombang pertama dilaksanakan desember tahun 2015 sampai pada gelombang ke enam akan dilaksanakan pada 2023untuk kepala daerah hasil pemilihan 2018, selanjutnya akan dilaksanakan secara serentak secara nasional pada 2027. mulai 2027 pilkada dilakukan secara serentaqk diseluruh Provinsi, Kabupaten, dan Kota di Indonesia.

dalam menyonsong pilkada serentak semua elemen yang terkait telah disinergikan untuk mengawal terselenggaranya ajang demokrasi lokal ini. Baik KPU, Bawaslu maupun pemerintah sudah siap melaksanakan pilkada serentak.





sumber:politik hukum pilkada serentak

Kamis, 01 Februari 2018

SEJARAH PENGAWAS PEMILU

Dalam sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, istilah pengawasan pemilu sebenarnya baru muncul pada era 1980-an. Pada pelaksanaan Pemilu yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada 1955 belum dikenal istilah pengawasan Pemilu. Pada era tersebut terbangun trust di seluruh peserta dan warga negara tentang penyelenggaraan Pemilu yang dimaksudkan untuk membentuk lembaga parlemen yang saat itu disebut sebagai Konstituante.
Walaupun pertentangan ideologi pada saat itu cukup kuat, tetapi dapat dikatakan sangat minim terjadi kecurangan dalam pelaksanaan tahapan, kalaupun ada gesekan terjadi di luar wilayah pelaksanaan Pemilu. Gesekan yang muncul merupakan konsekuensi logis pertarungan ideologi pada saat itu. Hingga saat ini masih muncul keyakinan bahwa Pemilu 1955 merupakan Pemilu di Indonesia yang paling ideal.
Kelembagaan Pengawas Pemilu baru muncul pada pelaksanaan Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Pada saat itu sudah mulai muncul distrust terhadap pelaksanaan Pemilu yang mulai dikooptasi oleh kekuatan rezim penguasa. Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971. Karena palanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih masif. Protes-protes ini lantas direspon pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan ABRI. Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan 'kualitas' Pemilu 1982. Demi memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu. Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu untuk mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU).
Pada era reformasi, tuntutan pembentukan penyelenggara Pemilu yang bersifat mandiri dan bebas dari kooptasi penguasa semakin menguat. Untuk itulah dibentuk sebuah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat independen yang diberi nama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi campur tangan penguasa dalam pelaksanaan Pemilu mengingat penyelenggara Pemilu sebelumnya, yakni LPU, merupakan bagian dari Kementerian Dalam Negeri (sebelumnya Departemen Dalam Negeri). Di sisi lain lembaga pengawas pemilu juga berubah nomenklatur dari Panwaslak Pemilu menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Perubahan mendasar terkait dengan kelembagaan Pengawas Pemilu baru dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Menurut UU ini dalam pelaksanaan pengawasan Pemilu dibentuk sebuah lembaga adhoc terlepas dari struktur KPU yang terdiri dari Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pjudicial review yang dilakukan oleh Bawaslu terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, rekrutmen pengawas Pemilu sepenuhnya menjadi kewenangan dari Bawaslu. Kewenangan utama dari Pengawas Pemilu menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 adalah untuk mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana pemilu, serta kode etik.
pengawas Pemilu Kecamatan. Selanjutnya kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dengan dibentuknya sebuah lembaga tetap yang dinamakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Adapun aparatur Bawaslu dalam pelaksanaan pengawasan berada sampai dengan tingkat kelurahan/desa dengan urutan Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, dan Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) di tingkat kelurahan/desa. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, sebagian kewenangan dalam pembentukan Pengawas Pemilu merupakan kewenangan dari KPU. Namun selanjutnya berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap 

Dinamika kelembagaan pengawas Pemilu ternyata masih berjalan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Secara kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan kembali dengan dibentuknya lembaga tetap Pengawas Pemilu di tingkat provinsi dengan nama Badan Pengawas Pemilu Provinsi (Bawaslu Provinsi). Selain itu pada bagian kesekretariatan Bawaslu juga didukung oleh unit kesekretariatan eselon I dengan nomenklatur Sekretariat Jenderal Bawaslu. Selain itu pada konteks kewenangan, selain kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, Bawaslu berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 juga memiliki kewenangan untuk menangani sengketa Pemilu.

Flag Counter